Rabu, 29 Agustus 2018

Sejarah Pembukuan AL-quran


Pembukuan Al-qur’an melalui beberapa periode mulai dari Periode Nabi Muhammad SAW - Periode Ustman Bin Affan.
1. Periode Nabi Muhammad SAW
Alqur’an merupakan sumber ajaran islam yang diwahyukan kepada rasulullah secara mutawatir (periwayatan) pada saat terjadi suatu peristiwa, disamping rasulullah menghafalkan secara pribadi. Nabi juga memberikan pengajaran kepada sahabat-sahabatnya untuk dipahami dan dihafalkan, ketika wahyu turun Rasulullah menyuruh Zaid bin Tsabit untuk menulisnya agar mudah dihafal karena Zaid merupakan orang yang paling berpotensi dengan penulisan, sebagian dari mereka dengan sendirinya menulis teks Al-qur’an untuk di milikinya sendiri diantara sahabat tadi , para sahabat selalu menyodorkan al-Qur’an kepada Nabi dalam bentuk hafalan dan tulisan-tulisan. Pada masa rasullah untuk menulis teks al-Qur’an sangat terbatas sampai-sampai para sahabat menulis Al-Qur’an di pelepah-pelepah kurma,lempengan-lempengan batu dan dikeping-keping tulang hewan, meskipun al-qur’an sudah tertuliskan pada masa rasulullah tapi al-qur’an masih berserakan tidak terkumpul menjadi satu mushaf (tulisan),
Pada saat itu memang sengaja dibentuk dengan hafalan yang tertanam didalam dada para sahat dan penulisan teks Al-Qur’an yang di lakukan oleh para sahabat. Dan tidak dibukukan didalam satu mushaf di karenakan rasulullah masih menunggu wahyu yang akan turun selanjutnya, dan sebagian ayat-ayat Al-Qur’an ada yang dimansukh oleh ayat yang lain, jika umpama Al-Qur’an segera dibukukan pada masa rasulullah, tentunya ada perubahan ketika ada ayat yang turun lagi atau ada ayat yang dimanskuh oleh ayat yang lain.

2. Periode Abu Bakar r.a
Ketika rasullulah wafat dan kekholifaaan jatuh ketangan Abu Bakar, banyak dari kalangan orang islam kembali kepada kekhafiran dan kemurtatan, dengan jiwa kepemimpinannya umar mengirim pasukan untuk memerangi. Tragedi ini dinamakan perang Yamamah (12 H),yang menewaskan sekitar 70 para Qori’dan Hufadz. dari sekian banyaknya para hufadz yang gugur, umar khawatir Al-Qur’an akan punah dan tidak akan terjaga, kemudian umar menyusulkan kepada Abu Bakar yang saat itu menjadi khalifah untuk membukukan Al-Qur’an yang masih berserakan kedalam satu mushaf (tulisan), pada awalnya Abu Bakar menolak dikarenakan hal itu tidak dilakukan pada masa rasulullah, dengan penuh keyakinan dan semangatnya untuk melestarikan Al-Qur’an umar berkata kepada Abu Bakar “ Demi allah ini adalah baik” dengan terbukanya hati Abu Bakar akhirnya usulan Umar diterima. Abu Bakar menyerahkan urusan tersebut kepada Zaid Bin Tsabit . Pada awalnya Zaid bin Tsabit menolaknya dikarenakan pembukuan Al-Qur’an tidak pernah dilakukan pada masa rasulullah sebagaimna Abu Bakar menolaknya. Zaid bin Tsabit dengan kecerdasannya mengumpulkan Al-Qur’an dengan berpegang teguh terhadap para Hufadz yang masih tersisa dan tulisan-tulisan yang tadinya ditulis oleh Zaid atas perintah rasullullah. Zaid sangat hati-hati didalam penulisannya, karena al-Qur’an merupakan sumber pokok ajaran islam. Yang kemudian Zaid menyerahkan hasil penyusunannya kepada Abu Bakar, dan beliau menyimpannya sampai wafat. Yang kemudian dipegang oleh umar Bin Khattab sebagai gantinya kekhalifaan.

3. Periode Umar Bin Khattab
Pada masa masa Umar Bin Khattab tidak terjadi penyusunan dan permasalahan apapun tentang Al-Qur’an karena al-Qur’an dianggap sudah menjadi kesepakatan dan tidak ada perselisihan dari kalangan sahabat dan para tabi’in. dimasa kekhalifaan umar lebih konsen terhadap perluasan wilayah, sehingga ia wafat. Yang selanjutnya kekhalifaan jatuh ketangan Ustman bin Affan.

4. Periode Ustman Bin Affan
Semakin banyaknya negara yang ditaklukkan oleh Umar Bin Khattab, semakin beraneragamlah pula pemeluk agama islam, disekian banyaknya pemeluk agama islam mengakibatkan perbedaan tentang Qiro’ah antara suku yang satu dengan yang lain, masing-masing suku mengklaim Qiro’ah dirinyalah yang paling benar. Perbedaan Qiro’ah tersebut terjadi disebabkan kelonggaran-kelonggaran yang diberikan Nabi kepada Kabilah-kabilah Arab dalam membaca Al-Qur’an menurut dialeknya masing-masing. Hufaidzah bin Yaman yang pernah ikut perang melawan syam bagian Armenia bersamaan Azabaijan bersama penduduk Iraq. Telah melihaT perbedaan tentang Qiro’ah tersebut. Setelah pulang dari peperangan. Hufaidzah menceritakan adanya perbedaan qiro’ah kepada Ustman Bin Affan, sekaligus ia mengusulkan untuk segera menindak perbedaan dan membuat kebijakan, dikhawatirkan akan terjadi perpecahan dikalangan ummat islam tentang kitab suci, seperti perbedaan yang terjadi dikalangan orang yahudi dan Nasrani yang mempermasalahkan perbedaan antara kitab injil dan taurat. Selanjutnya Ustman Bin Affan membentuk lajnah (panitia) yang dipimpin oleh Zaid Bin Harist dengan anggotanya Abdullah bin Zubair. Said ibnu Ash dan Abdurahman bin Harits.
Ustman Bin Affan memerintahkan kepada Zaid untuk mengambil Mushaf (tulisan) yang berada dirumah Hafsah dan menyeragamkan bacaan dengan satu dialek yakni dialek Qurays, mushaf yang asli dikembalikan lagi ke hafsah. Ustman Bin Affan menyuruh Zaid untuk memperbanyak mushaf yang diperbaruhi menjadi 6 mushaf, yang lima dikirimkan kewilayah islam seperti Mekkah, Kuffah, Basrah dan Suria, yang satu tersisa disimpan sendiri oleh Ustaman dirumahnya. Mushaf ini dinamai Al-Imam yang lebih dikenal mushaf Ustmani, demikian terbentuknya mushaf (tulisan) ustmani dikarenakan adanya pembaruan mushaf pada masa ustmani.










Pengumpulan Al-qur’an
            Di kalangan ulama, terminologi pengumpulan Al-qur’an (Jam’ Al-quran) memiliki dua konotasi: konotasi penghapalan Al-quran dan konotasi penulisannya secara keseluruhan.
Ø  Proses Penghapalan Al-quran
Kedatangan wahyu merupakan sesuatu yang dirindukan Nabi. Oleh karena itu, begitu wahyu datang, Nabi langsung menghapal dan memahaminya. Dengan demikian, Nabi adalah orang yang paling pertama menghapal Al-quran. Tinndakan Nabi itu sekaligus menjadi suri taladan yang diikuti para sahabatnya. Imam Al-Bukharimencatat sekitar tujuh orang sahabat Nabi yang terkenal dengan hapalan Al-quran ny. Mereka adalah Abdullah bin Mas’ud, Salim bin Mi’qal (maula’-nya Abu Hudzaifah), Mu’adz bin Jabal, Ubai bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Zaid bin As-Sakan, dan Abu ad-Darda’

Penyebutan ketujuh sahabat itu kaitannya dengan penghapalan Al-quran terkesan tidak rasional dan tidak realistis, mengingat selain ketujuh sahabat itu, tercatat pula sahabat-sahabat lain yang ikut serta menghapalkan Al-quran termasuk ketika nabi masih ada. Bahkan ada di kalangan sahabat wanita yang juga tercatat sebagai penghapal Al-quran, seperti Aisyah, Hafshah, Ummu Salah,dan Ummu Waraqah.

Ø  Proses Penulisan Al-quran
Pada masa nabi kedatangan wahyu tidak saja diekspresikan dalam bentuk hapalan, tetapi juga dalam bentuk tulisan. Nabi memiliki sekretaris terendiri yang khusus bertugas mencatat wahyu-wahyu yang di turunkan oleh Allah S.W.T.  Mereka adalah Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Abban bin Sa’id, Khalid bin Sa’id, Khalid bin al-Walid, dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Proses penulisan Al-quran sangat sederhana.Mereka menggunakan alat tulis sederhana dan berupa lontaran kayu, pelepah kurma, tulang belulang, dan batu.
Kegiatan tuli-menulis Al-quran pada masa Nabi di samping dilakukan oleh para sekretaris Nabi, juga di lakukan para sahabat lainnya. Kegiatannya itu di dasarkan kepada sebuah hadis Nabi, sebagaimana yang telah di riwayatkan oleh Muslim.
“Janganlah kamu menulis sesuatu yang berasal dariku, kecuali Al-quran. Barang siapa yang telah menulis dariku selain Al-quran, hendaklah ia menghapusnya”. (H.R. Muslim)
Di antara faktor yang mendorong penulisan Al-quran pada masa Nabi adalah:
                I.            Mem-beck up hapalan yang telah di lakukan oleh Nabi dan para sahabatnya,
                II.            Mempresentasikan wahyu dengan cara yang paling sempurna, karena bertolak dari hapalan para sahabat saja tidak cukup karena terkadang mereka lupaatau sebagian dari mereka sudah wafat. Adapun tulisan akan tetap terpelihara walaupun pada masa Nabi, Al-quran tidak di ulis di tempat tertentu.

Uraian di atas memperlihatkan bahwa karakteristik penulisan Al-quran pada masa Nabi adalah bahwa Al-quran ditulis tidak pada satu tempat, melainkan pada tempat yang terpisah-pisah. Hal ini tampaknya bertolak dari dua alas an berikut. 
a.       Proses penuruna Al-quran masih berlanjut sehingga ada kemungkinan ayat yang turun belakangan “menghapus” redaksi dan ketentuan hukum ayat yang sudah turun terdahulu
b.      Menertibkan ayat dan surat-surat Al-quran tidak bertolak dari kronologi turunnya, tetapi bertolak dari keserasian antara satu ayat dengan ayat lainnya, atau antara satu surat dengan surat yang lain. Oleh karena itu, terkadang ayat atau surat yang turun belakangan ditulis lebih dahulu ketimbang ayat atau surat yang turun terlebih dahulu.

Pada masa Abu bakar Ash-Shiddiq pada dasarnya seluruh Al-quran sudah ditulis pada waktu Nabi masih ada. Hanya saja, pada saat itu surat-surat dan ayat-ayatnya ditulis dengan terpencar-pencar. Dan orang yang pertama kali menyusunnya dalam satu mushaf (tulisan) adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Oleh karena itu, Abu ‘Abdillah Al- Muhasibi6 berkata di dalam kitabnya, Fahm As-Sunan, “Penulisan Al-quran bukanlah sesuatu yang baru. Sebab, Rasulullah pernah memerintahkannya. Hanya saj, saat itu tulisan Al-quran berpencar-pencar pada  pelepah kurma, batu halus, kulit, tulang unta, dan bantalan dari kayu. Abu bakar kemudian berinisiatif menghimpun semuanya”
Usaha pengumpulan tulisan Al-quran yang dilakukan Abu Bakar terjadi setelah perang Yamamah pada tahun 12 Hijriah. Peperangan yang bertujuan menumpas habis para pemurtad yang juga para pengikut Musailamah Al-Kadzdzab itu telah menjadikan 700 orang sahabat penghapal Al-quran syahid. Khawatir akan semakin hilangnya para penghapal Al-quran, sehingga kelestarian Al-quran juga ikut terancam, ‘Umar datang menemui Khalifah pertama, Abu Bakar agar segera meninstuksikan pegumpulan Al-quran dari berbagai sumber, baik yang tersimpan di dalam hapalan maupun tulisan.

            Zaid bin Tsabit, salah seorang sekertaris Nabi, berdasarkan riwayat Al-Bukhari (kitab “Fadh’ il Al-quran”, mengisahkan bahwa setelah peristiwa berdarah yang menimpa sekitar 700 orang penghapal Al-quran, Zaid diminta bertemu Abu Bakar. Turut hadir dalam pertemuan itu ‘Umar bin Al-Khathathab. Abu Bakar membuka pertemuan itu ‘Umar bin Al-Khaththab. Abu Bakar membuka pertemuan itu dengan mengatakan, “ Umar telah mendatangiku dan meminta korban sejumlah qari’ Al-Qur’an. Aku khawatir hal ini meluar kepada para penduduk. Kalau demikian, akan banyak penghafal Al-Qur’an yang hilang. Aku memandang perlunya penghimpunan Al-Qur’an. “
Setelah Abu Bakar berbicara, Zaid bin Tsabit mengajukan keberatanya. Kalimatnya ia arahkan kepada Umar karena usul penulisan datang darinya, “ bagaimana mungkin kita melakukan sesuatu yang belum dilakukan Rasulullah ?” lalu Umar menjawab, “ Demi Allah ini sesuatu yang baik “. Dan ketikan Umar belum selesai mengucapkan kalimatnya, Allah telah melegakan hati Zaid tentang perlunya perhimpunan Al-Qur’an.
Kemudian Abu Bakar berkatan kepada Zaid,” Kau adalah seorang lelaki yang masih muda dan pintar. Kami tidak menuduhmu ( cacat mental ). Dahulu kau menulis wahyu untuk Rasulullah. ( sekarang ), lacaklah Al – Qur’an.”
Bagi Zaid tugas yang dipercayakan khalifah Abu Bakar kepadanya bukan hal yang ringan. Hal ini bisa dipahami dari kalimat yang terlontar dari mulutnya di hadapan Abu Bakar dan Umar pada waktu itu, “ Demi Allah, sekiranya orang-orang membebaniku memindahkan suatu gunung, hal itu tidak lebih berat dari pada apa yang kau perintahkan kepadaku untuk menghimpun Al-Qur’an.”

            Dalam melaksakan tugasnya, Zaid menetapkan kriterian yang tepat untuk setiap ayat yang di kumpulkanya. Ia tifak menerima ayat yang hanya berdasarkan hafalan, tanpa di dukung tulisan. Kehati-hatianya di perlihatkan oleh ucapanya sebagaimana tertuang pada akhir hadits yang diriwayatkan Al-Bukhori diatas, “ Hingga aku temukan akhir surat At – Taubah, pada tangan Abu Khuzaimah Al – Anshari.” Ungkapkanya itu tidak menunjukan bahwa akhir surat At-Taubah, itu tidak Mutawattir, tetapi lebih menunjukan bahwa hanya Abu Khuzaimah Al – Anshari yang menulisnya. Zaid dan sahabat – sahabatnya juga menghafalnya, tetapi tidak memiliki tulisanya.
Sikap kehati-hatian Zaid dalam mengumpulkan Al – Qur’an sebenarnya atas dasar pesan Abu Bakar kepada Zaid dan Umar. Abu Bakar berkata “ Duduklah kalian di pintu masjid. Siapa saja yang datang kepada kalian membawa catatan Al-Qur’an dengan dua saksi, maka catatlah.”
Di dalam menerangkan “ dua saksi” riwayat ini perlu di simak pendapat Ibn Hajjar. Menurut tokoh hadits penamaan ini, Syahidain ( dua saksi ) disini keduanya tidak harus dalam bentuk hafalan, atau keduanya dalam bentuk tulisan. Sahabat tertentu yang membawa ayat tertentu dapat di terima bila ayat di sodorkan didukung dua hafalan dan atau tulisan sahabt lainya. Demikian juga, suatu hafalan ayat tertentu yang dibawa oleh sahabat tertentu baru bisa di terima bila kuatkan oleh dua catatan dan atau hafalan sahabt lainya.
Pemahaman Ibn Hajjar tentang Syahidain sedikit berbeda dengan apa di tangkap As – Sakhawi ( W.643 H.  Asy – Syakhawi memandang bahwa Syahidain artinya catatan sahabat tertentu mengenai ayat tertentu. Ayat tertentu yang di sodorkan sahabt dapat diterima jika memiliki dua saksi yang memberikan kesaksian bahwa catatan itu memang ditulis dihadapan Nabi.
Pekerjaan yang dibebankan kepundak Zaid dapat diselesaikan dalam waktu kurang lebih satu tahun, yaitu pada tahun 13 H. dibawah pengawasan Abu Bakar, Umar, dan para tokoh sabahat lainya. Ketiga tokoh yang telah disebut-sebut dalam pengumpulan Al – Qur’an pada masa Abu Bakar, yakni Abu Bakar, Umar, dan Zaid, mempunyai peranan yang sangat penting. Umar yang terkenal dengan trobosan-trobosan jitunya menjadi pencetus Ide. Ini tetntunya punya arti tersendiri. Zaid sudah tentu mendapat kehormatan besar karena ia dipercaya menghimpun kitab suci Al-Qur’an yang memerlukan kejujuran, kecermatan, ketelitian, dan kerja keran. Khalifah Abu Bakar sebagai decision maker menduduki porsi tersendiri. Tak berlebihan bila Ali bin Abi Thalib memujinya dengan mengatakan, “ Semoga Allah merahmati Abu Bakar. Ia orang yang pertama kali ( mengabil keputusan ) mengumpulkan kitab Allah”. ( Az-Zarkasyi, t.t,I:239 ).

            Setelah sempurna, kemudian berdasarkan musyawarah, tulisan Al – Qur’an yang sudah terkumpul itu dinamakan “Mushaf”, sebagaimana disebutkan Ibnu Asytah didalam kitab Al-Mashahif yang didasarkan pada riwayat yang sampai kepadanya melalui jalan Musa bin ‘Aqabah dari Ibnu Syihab: “ setelah Al – Qur’an terkumpul, mereka menuliskanya diatas kertas. Abu Bakar berkata, ‘carilah nama Al-Qur’an yang sudah ditulis ini’. Sebagian sahabat mengusulkan nama ‘As-Sifr’. Abu Bakar berkata, ‘itu nama yang diberikan oleh orang-orang yahudi’. Merekapun tidak menyukai nama itu. Sebagian sahabat yang lainya mengushulkan nama “Al-Mushaf” karena orang – orang habsyi memakai nama itu. Mereka pun akhirnya sepakat dengan nama itu”.

            Setelah Abu Bakar wafat, suhuf-suhuf Al-quran itu di simpan khalifah Umar dan Umar wafat, mushaf itu di simpan hafsah, bukan oleh Utsman bin Affan sebagai khalifah yang menggantikan Umar. Timbul pertanyaan, “mengapa mushaf itu di serahkan kepada khalifah setelah Umar?” Pertanyaan itu logis. Hanya Umar, menurut zarzur, mempunyai pertimbangan lain, yaitu bahwa sebelum wafat, Umar memberikan kesempatan kepada enam sahabat untuk bermusyawarah memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah. Kalau Umar memberikan Mushaf yang ada padanya kepada salah seorang di antara enam sahabat itu, ia khawatir hal tersebut di interpretasikan sebagai dukungan kepada sahabat yang memegang mushaf. Padahal, Umar ingin memberikan kebebasan sepenuhnya kepada enam sahabat itu, untuk memilih diantara mereka yang layak menjadi khalifa, ia menyerahkan mushaf itu kepada heafsah yang lebih dari layak memegang musfah yang sangat bernilai. Telebih lagi, ia adalah istri nabi dan sudah menghafal Al-quran secara keseluruhannya.

            Pada masa Utsman bin Affan, penjelasan secara tradisional berupa Hadist Nabi yang diriwayatkan Al-Bukhori, tentang alasan yang menyebabkan di ambil langkah selanjutnya dalanm menetapkan bentuk Al-quran, menyiratkan bawa perbeedaan-perbedaan serius dalam qiro’at (cara membaca) Al-quran terdapat dalam salinan-salinan Al-quran yang ada pada masa Utsman bin Affan di berbagai wilayah. Dikisahkan kepada kita bahwa selama pengiriman ekspedisdan militer ke Armenia da Azzerpaijan, persilisihan tentang bacaan Al-quran muncul di kalangan tentara-tentara muslim, yang sebagiannya direkrut dari Siria dan sebagian lagi di Irak. Perselisihan inicukup serius hingga menyebabkan pimpinan-pimpinan tentara muslim, Hudzaifah, melaporkannya kepada kholifa Utsman (644-656) dan mendesaknya agar mengambil langkah-langkah guna mengakhiri perbedaan-perbedaan bacaan tersebut. Kholifa lalu berembuk dengan para sahabat senior Nabi, dan akhirnya menugaskan Zaid bin Tsabit “mengumpulkan” Al-quran . bersama Zaid, ikut bergabung Tiga anggota keluarga Mekah terpandang: ‘Abdulloh bin Zubair, Said bin Al-Ash, dan Abd Ar-Rohman bin Al-Harits.

           

 Satu prinsip yang mereka ikuti dalam menjalankan tugas ini adalah bahwa dalam kasus kesulitan bacaan, dialek Quraisy- suku dari mana Nabi berasal- harus dijadikan pilihan. Keseluruhan Al-quran direvisi dengan cermat dan dibandingkan dengan suhuf yang berada di tangan hafsah, serta di kembalikan kepadanya ketika resensi Al-quran selesai digarap.
Dengan demikian, suatu naskah otoritatif (abash) Al-quran, yang sering juga di sebut Mushaf ‘Utsmani, telah di tetapkan. Sejumlah salinannya dibuat dan di bagikan ke pusat-pusat utama daerah Islam.

Az-Zarqani mengemukakan pedoman pelaksanaan tugas yang diemban oleh Zaid bin Tsabit sebagai berikut:
§  Tidak menulis sesuatu dalam mushaf, kecuali telah diyakini bahwa itu adaalah ayat Al-quran yang dibaca Nabi pada pemeriksaan Jibril dan  tilawah-nya tidak mansukh.
§  Untuk menjamin ketujuh huruf turunnya Al-quran, tulisan mushaf bebas dari titik dan syakal.
§  Lafazh yang tidak dibaca dengan bermacam-macam  bacaan ditulis dengan bentuk unik, sedangkan lafazh yang dibaca dengan lebih satu qira’at ditulis dengan rasm yang berbeda pada tiap-tipa mushaf.
§  Berkaitan dengan terjadinya perbedaan mengenai bahasa, ditetapkan bahasa Quraisy yang digunakan karena Al-Quran diturunkan dalam bahasa tersebut.
Inisiatif Utsman untuk menyatukan penulisan Al-quran tampaknya sangat beralasan. Betapa tidak, menurut beberapa riwayat, perbedaan cara membaca Al-quran pada saat itu sudah berada pada titik yang menyebabkan umat Islam saling menyalahkan dan pada ujungnya terjadi perselisihan di antara mereka. Sebuah riwayat menjelaskan bahwa perbedaan cara membaca Al-quran  ini terlihat pada waktu pertemuan pasukan perang Islam yang datang dari Irak dan Syiria. Sementara mereka yang datang dari Syam (syiria) mengikuti qira’at Ubai bin Ka;ab, mereka yang berasal dari Irak membacanya sesuai dengan qira;at Ibn Mas;ud. Tak jarang pula, di antara mereka yang mengikuti qira’at Abu Musa Al-Asy’ari. Masing-masing pihak merasa bahwa qira’at yang dimilikinya lebih baik.
Utsman memutuskan agar mushaf-mushaf yang beredar adalah mushaf yang memenuhi persyaratan berikut :
a.       Harus terbukti mutawir, tidak di tulis berdasarkan riwayat ahad
b.      Mengabaikan ayat yangbacaannya dinasakh dan ayat tersebut tidak diyakini di baca kembali di hadapan Nabi pada saat-saat terakhir
c.       Kronologi surat dan ayat seperti yang dikenal sekarang ini, berbeda dengan mushaf Abu Bakar yang susunan suratnya berbeda dengan mushaf Utsman
d.      Sistem penulisan yang digunakan mushaf mampu mencakupi qira’at yang berbeda sesuai dengan lafadz-lafadz Al-quran ketika turun
e.       Semua yang bukan termasuk Al-quran dihilangkan. Contohnya,yang ditulis di mushaf sebagian sahabat yang mereka juga menulis makna ayat atau penjelasannasikh-mansuk di dalam mushaf.


Pada Masa Abu Bakar
Pada Masa ‘Utsman bin Affan
1.      Motivasi penulisnya adalah khawatir sirnanya Al-quran dengan syahidnya beberapa penghapal Al-quran pada Perang Yamamah
1.      Motivasi penulisannya karena terjadinya banyak perselisihan di dalam cara membaca Al-quran (qira’at)
2.      Abu Bakar melakukannya dengan mengumpulkan tulisan-tulisan Al-quran yang terpencar-pencar pada pelepah kurma, kulit, tulang dan sebagainya.
2.      ‘Utsman melakukannya dengan menyederhanakan tulisan mushaf pada satu hurufdari tujuh huruf yang dengannya Al-quran turun7

Penyempurnaan Penulisan Al-quran setalah Masa Khalifah
Mushaf yang ditulis atas perintah ‘Utsman tidak memiliki harakat dan tanda titik sehingga dapat dibaca dengan salah satu qira’at yang tujuh. Setelah banyak orang non-Arab memeluk Islam, mereka merasa kesulitan membaca mushaf yang tidak berharakat dan bertitik itu. Pada masa Khalifah ‘Abd Al-Malk (685-705), ketidak memadainya mushaf in telah dimaklumi para sarjana muslim terkemuka saat itu dan karena itu pula penyempurnaan mulai segera dilakukan. Tersebutlah dua tokoh yang berjasa dalam hal ini, yaitu ‘Ubaidillah bin Ziyad (w. 89 H). adapun orang yang disebut-sebut pertama kali meletakkan hamzah, tasydid, Al-raum, dan al-isymamadalah Al-Khalil bin Ahmad Al-Farahidi Al-Azdi yang diberi kunyah Abu ‘Abdirrahman (w. 175 H.)
            Upaya penulisan Al-quran dengan tulisan yang bagus merupakan upaya lain yang telah dilakukan generadi terdahulu. Diberitakan bahwa Khalifah Al-Wahid (memerintah dari tahun 86-96 H). memerintahkan Khalid bin Abi Al-Hayyaj yang terkenal keindahan tulisannya untuk menulis mushaf Al-quran.
Penerbitan Al-quran dengan label Islam baru dimlai pada tahun 1787. Yang menerbitkannya adalah Maulaya ‘Utsman. Dan mushaf cetakan itu lahir di Saint-Patersbourg, Rusia, atau Leningrad, Uni Soviet sekarang. Lahir lagi kemudian, mushaf cetakan di kazan. Kemudian terbit lagi di Iran. Tahun 1248 H/1828 M, negeri Persia ini menerbitkan mushaf cetakan di kota Teheran. Lima tahun kemudian, yskni tahun 1833, terbit lagi mushaf cetakan di Tabriz. Setelah dua kali diterbitkan di Iran, setahun kemudian (1834) terbit lagi mushaf cetakan di Leipzig, Jerman.
Di negara Arab, Raja Fuad dari Mesir membentuk panitia khusus penerbitan Al-quran di perempatan pertama abad XX. Panitia yang di motori para syekh Al-Azhar i ni pada tahun 1342 H/ 1923 M. Berhasil menerbitkan mushaf Al-quran cetakan yang bagus. Mushaf ysng pertama di terbitkan di Negara Arab ini dicetak sesuai dengan riwayat Hafsah atau qira’at ‘Ashim. Sejak itu, berjuta-juta mushaf dicetak di Mesir dan diberbagai Negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar