Pembukuan Al-qur’an melalui beberapa
periode mulai dari Periode Nabi Muhammad SAW - Periode Ustman Bin Affan.
1. Periode Nabi Muhammad SAW
Alqur’an
merupakan sumber ajaran islam yang diwahyukan kepada rasulullah secara
mutawatir (periwayatan) pada saat terjadi suatu peristiwa, disamping rasulullah
menghafalkan secara pribadi. Nabi juga memberikan pengajaran kepada
sahabat-sahabatnya untuk dipahami dan dihafalkan, ketika wahyu turun Rasulullah
menyuruh Zaid bin Tsabit untuk menulisnya agar mudah dihafal karena Zaid
merupakan orang yang paling berpotensi dengan penulisan, sebagian dari mereka
dengan sendirinya menulis teks Al-qur’an untuk di milikinya sendiri diantara
sahabat tadi , para sahabat selalu menyodorkan al-Qur’an kepada Nabi dalam
bentuk hafalan dan tulisan-tulisan. Pada masa rasullah untuk menulis teks
al-Qur’an sangat terbatas sampai-sampai para sahabat menulis Al-Qur’an di
pelepah-pelepah kurma,lempengan-lempengan batu dan dikeping-keping tulang
hewan, meskipun al-qur’an sudah tertuliskan pada masa rasulullah tapi al-qur’an
masih berserakan tidak terkumpul menjadi satu mushaf (tulisan),
Pada saat itu memang sengaja
dibentuk dengan hafalan yang tertanam didalam dada para sahat dan penulisan
teks Al-Qur’an yang di lakukan oleh para sahabat. Dan tidak dibukukan didalam
satu mushaf di karenakan rasulullah masih menunggu wahyu yang akan turun
selanjutnya, dan sebagian ayat-ayat Al-Qur’an ada yang dimansukh oleh ayat yang
lain, jika umpama Al-Qur’an segera dibukukan pada masa rasulullah, tentunya ada
perubahan ketika ada ayat yang turun lagi atau ada ayat yang dimanskuh oleh
ayat yang lain.
2. Periode Abu Bakar r.a
Ketika
rasullulah wafat dan kekholifaaan jatuh ketangan Abu Bakar, banyak dari
kalangan orang islam kembali kepada kekhafiran dan kemurtatan, dengan jiwa
kepemimpinannya umar mengirim pasukan untuk memerangi. Tragedi ini dinamakan
perang Yamamah (12 H),yang menewaskan sekitar 70 para Qori’dan Hufadz. dari
sekian banyaknya para hufadz yang gugur, umar khawatir Al-Qur’an akan punah dan
tidak akan terjaga, kemudian umar menyusulkan kepada Abu Bakar yang saat itu
menjadi khalifah untuk membukukan Al-Qur’an yang masih berserakan kedalam satu
mushaf (tulisan), pada awalnya Abu Bakar menolak dikarenakan hal itu tidak
dilakukan pada masa rasulullah, dengan penuh keyakinan dan semangatnya untuk
melestarikan Al-Qur’an umar berkata kepada Abu Bakar “ Demi allah ini adalah
baik” dengan terbukanya hati Abu Bakar akhirnya usulan Umar diterima. Abu Bakar
menyerahkan urusan tersebut kepada Zaid Bin Tsabit . Pada awalnya Zaid bin
Tsabit menolaknya dikarenakan pembukuan Al-Qur’an tidak pernah dilakukan pada
masa rasulullah sebagaimna Abu Bakar menolaknya. Zaid bin Tsabit dengan
kecerdasannya mengumpulkan Al-Qur’an dengan berpegang teguh terhadap para
Hufadz yang masih tersisa dan tulisan-tulisan yang tadinya ditulis oleh Zaid
atas perintah rasullullah. Zaid sangat hati-hati didalam penulisannya, karena
al-Qur’an merupakan sumber pokok ajaran islam. Yang kemudian Zaid menyerahkan
hasil penyusunannya kepada Abu Bakar, dan beliau menyimpannya sampai wafat.
Yang kemudian dipegang oleh umar Bin Khattab sebagai gantinya kekhalifaan.
3. Periode Umar Bin Khattab
Pada
masa masa Umar Bin Khattab tidak terjadi penyusunan dan permasalahan apapun
tentang Al-Qur’an karena al-Qur’an dianggap sudah menjadi kesepakatan dan tidak
ada perselisihan dari kalangan sahabat dan para tabi’in. dimasa kekhalifaan
umar lebih konsen terhadap perluasan wilayah, sehingga ia wafat. Yang
selanjutnya kekhalifaan jatuh ketangan Ustman bin Affan.
4. Periode Ustman Bin Affan
Semakin
banyaknya negara yang ditaklukkan oleh Umar Bin Khattab, semakin beraneragamlah
pula pemeluk agama islam, disekian banyaknya pemeluk agama islam mengakibatkan
perbedaan tentang Qiro’ah antara suku yang satu dengan yang lain, masing-masing
suku mengklaim Qiro’ah dirinyalah yang paling benar. Perbedaan Qiro’ah tersebut
terjadi disebabkan kelonggaran-kelonggaran yang diberikan Nabi kepada
Kabilah-kabilah Arab dalam membaca Al-Qur’an menurut dialeknya masing-masing.
Hufaidzah bin Yaman yang pernah ikut perang melawan syam bagian Armenia
bersamaan Azabaijan bersama penduduk Iraq. Telah melihaT perbedaan tentang
Qiro’ah tersebut. Setelah pulang dari peperangan. Hufaidzah menceritakan adanya
perbedaan qiro’ah kepada Ustman Bin Affan, sekaligus ia mengusulkan untuk
segera menindak perbedaan dan membuat kebijakan, dikhawatirkan akan terjadi
perpecahan dikalangan ummat islam tentang kitab suci, seperti perbedaan yang
terjadi dikalangan orang yahudi dan Nasrani yang mempermasalahkan perbedaan
antara kitab injil dan taurat. Selanjutnya Ustman Bin Affan membentuk lajnah (panitia)
yang dipimpin oleh Zaid Bin Harist dengan anggotanya Abdullah bin Zubair. Said
ibnu Ash dan Abdurahman bin Harits.
Ustman Bin Affan memerintahkan
kepada Zaid untuk mengambil Mushaf (tulisan) yang berada dirumah Hafsah dan
menyeragamkan bacaan dengan satu dialek yakni dialek Qurays, mushaf yang asli
dikembalikan lagi ke hafsah. Ustman Bin Affan menyuruh Zaid untuk memperbanyak
mushaf yang diperbaruhi menjadi 6 mushaf, yang lima dikirimkan kewilayah islam
seperti Mekkah, Kuffah, Basrah dan Suria, yang satu tersisa disimpan sendiri
oleh Ustaman dirumahnya. Mushaf ini dinamai Al-Imam yang lebih dikenal mushaf
Ustmani, demikian terbentuknya mushaf (tulisan) ustmani dikarenakan adanya
pembaruan mushaf pada masa ustmani.
Pengumpulan Al-qur’an
Di
kalangan ulama, terminologi pengumpulan Al-qur’an (Jam’ Al-quran) memiliki dua
konotasi: konotasi penghapalan Al-quran dan konotasi penulisannya secara
keseluruhan.
Ø Proses Penghapalan Al-quran
Kedatangan wahyu merupakan sesuatu
yang dirindukan Nabi. Oleh karena itu, begitu wahyu datang, Nabi langsung
menghapal dan memahaminya. Dengan demikian, Nabi adalah orang yang paling
pertama menghapal Al-quran. Tinndakan Nabi itu sekaligus menjadi suri taladan
yang diikuti para sahabatnya. Imam Al-Bukharimencatat sekitar tujuh orang
sahabat Nabi yang terkenal dengan hapalan Al-quran ny. Mereka adalah
Abdullah bin Mas’ud, Salim bin Mi’qal (maula’-nya Abu Hudzaifah), Mu’adz bin
Jabal, Ubai bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Zaid bin As-Sakan, dan Abu
ad-Darda’.
Penyebutan
ketujuh sahabat itu kaitannya dengan penghapalan Al-quran terkesan tidak
rasional dan tidak realistis, mengingat selain ketujuh sahabat itu, tercatat
pula sahabat-sahabat lain yang ikut serta menghapalkan Al-quran termasuk ketika
nabi masih ada. Bahkan ada di kalangan sahabat wanita yang juga
tercatat sebagai penghapal Al-quran, seperti Aisyah, Hafshah, Ummu Salah,dan
Ummu Waraqah.
Ø Proses Penulisan Al-quran
Pada
masa nabi kedatangan wahyu tidak saja diekspresikan dalam bentuk hapalan,
tetapi juga dalam bentuk tulisan. Nabi memiliki sekretaris terendiri yang
khusus bertugas mencatat wahyu-wahyu yang di turunkan oleh Allah
S.W.T. Mereka adalah Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Abban bin
Sa’id, Khalid bin Sa’id, Khalid bin al-Walid, dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
Proses penulisan Al-quran sangat sederhana.Mereka menggunakan alat tulis
sederhana dan berupa lontaran kayu, pelepah kurma, tulang belulang, dan batu.
Kegiatan tuli-menulis Al-quran pada
masa Nabi di samping dilakukan oleh para sekretaris Nabi, juga di lakukan para
sahabat lainnya. Kegiatannya itu di dasarkan kepada sebuah hadis Nabi,
sebagaimana yang telah di riwayatkan oleh Muslim.
“Janganlah kamu menulis sesuatu yang
berasal dariku, kecuali Al-quran. Barang siapa yang telah menulis dariku selain
Al-quran, hendaklah ia menghapusnya”. (H.R. Muslim)
Di antara faktor yang mendorong
penulisan Al-quran pada masa Nabi adalah:
I. Mem-beck
up hapalan yang telah di lakukan oleh Nabi dan para sahabatnya,
II. Mempresentasikan
wahyu dengan cara yang paling sempurna, karena bertolak dari hapalan para
sahabat saja tidak cukup karena terkadang mereka lupaatau sebagian dari mereka
sudah wafat. Adapun tulisan akan tetap terpelihara walaupun pada masa Nabi, Al-quran
tidak di ulis di tempat tertentu.
Uraian
di atas memperlihatkan bahwa karakteristik penulisan Al-quran pada masa Nabi
adalah bahwa Al-quran ditulis tidak pada satu tempat, melainkan pada tempat
yang terpisah-pisah. Hal ini tampaknya bertolak dari dua alas an berikut.
a. Proses
penuruna Al-quran masih berlanjut sehingga ada kemungkinan ayat yang turun
belakangan “menghapus” redaksi dan ketentuan hukum ayat yang sudah turun
terdahulu
b. Menertibkan
ayat dan surat-surat Al-quran tidak bertolak dari kronologi turunnya, tetapi
bertolak dari keserasian antara satu ayat dengan ayat lainnya, atau antara satu
surat dengan surat yang lain. Oleh karena itu, terkadang ayat atau surat yang
turun belakangan ditulis lebih dahulu ketimbang ayat atau surat yang turun
terlebih dahulu.
Pada
masa Abu bakar Ash-Shiddiq pada dasarnya seluruh Al-quran sudah ditulis pada
waktu Nabi masih ada. Hanya saja, pada saat itu surat-surat dan ayat-ayatnya
ditulis dengan terpencar-pencar. Dan orang yang pertama kali menyusunnya dalam
satu mushaf (tulisan) adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Oleh karena itu, Abu
‘Abdillah Al- Muhasibi6 berkata di dalam kitabnya, Fahm
As-Sunan, “Penulisan Al-quran bukanlah sesuatu yang baru. Sebab, Rasulullah pernah
memerintahkannya. Hanya saj, saat itu tulisan Al-quran berpencar-pencar
pada pelepah kurma, batu halus, kulit, tulang unta, dan bantalan
dari kayu. Abu bakar kemudian berinisiatif menghimpun semuanya”
Usaha pengumpulan tulisan Al-quran
yang dilakukan Abu Bakar terjadi setelah perang Yamamah pada tahun 12 Hijriah.
Peperangan yang bertujuan menumpas habis para pemurtad yang juga para pengikut
Musailamah Al-Kadzdzab itu telah menjadikan 700 orang sahabat penghapal
Al-quran syahid. Khawatir akan semakin hilangnya para penghapal Al-quran,
sehingga kelestarian Al-quran juga ikut terancam, ‘Umar datang menemui Khalifah
pertama, Abu Bakar agar segera meninstuksikan pegumpulan Al-quran dari berbagai
sumber, baik yang tersimpan di dalam hapalan maupun tulisan.
Zaid
bin Tsabit, salah seorang sekertaris Nabi, berdasarkan riwayat Al-Bukhari
(kitab “Fadh’ il Al-quran”, mengisahkan bahwa setelah peristiwa berdarah yang
menimpa sekitar 700 orang penghapal Al-quran, Zaid diminta bertemu Abu Bakar.
Turut hadir dalam pertemuan itu ‘Umar bin Al-Khathathab. Abu Bakar membuka
pertemuan itu ‘Umar bin Al-Khaththab. Abu Bakar membuka pertemuan itu dengan
mengatakan, “ Umar telah mendatangiku dan meminta korban sejumlah qari’ Al-Qur’an.
Aku khawatir hal ini meluar kepada para penduduk. Kalau demikian, akan banyak
penghafal Al-Qur’an yang hilang. Aku memandang perlunya penghimpunan Al-Qur’an.
“
Setelah Abu Bakar berbicara, Zaid
bin Tsabit mengajukan keberatanya. Kalimatnya ia arahkan kepada Umar karena
usul penulisan datang darinya, “ bagaimana mungkin kita melakukan sesuatu yang
belum dilakukan Rasulullah ?” lalu Umar menjawab, “ Demi Allah ini sesuatu yang
baik “. Dan ketikan Umar belum selesai mengucapkan kalimatnya, Allah telah
melegakan hati Zaid tentang perlunya perhimpunan Al-Qur’an.
Kemudian Abu Bakar berkatan kepada
Zaid,” Kau adalah seorang lelaki yang masih muda dan pintar. Kami tidak
menuduhmu ( cacat mental ). Dahulu kau menulis wahyu untuk Rasulullah. (
sekarang ), lacaklah Al – Qur’an.”
Bagi Zaid tugas yang dipercayakan
khalifah Abu Bakar kepadanya bukan hal yang ringan. Hal ini bisa dipahami dari
kalimat yang terlontar dari mulutnya di hadapan Abu Bakar dan Umar pada waktu
itu, “ Demi Allah, sekiranya orang-orang membebaniku memindahkan suatu gunung,
hal itu tidak lebih berat dari pada apa yang kau perintahkan kepadaku untuk
menghimpun Al-Qur’an.”
Dalam
melaksakan tugasnya, Zaid menetapkan kriterian yang tepat untuk setiap ayat
yang di kumpulkanya. Ia tifak menerima ayat yang hanya berdasarkan hafalan,
tanpa di dukung tulisan. Kehati-hatianya di perlihatkan oleh ucapanya
sebagaimana tertuang pada akhir hadits yang diriwayatkan Al-Bukhori diatas, “
Hingga aku temukan akhir surat At – Taubah, pada tangan Abu Khuzaimah Al –
Anshari.” Ungkapkanya itu tidak menunjukan bahwa akhir surat At-Taubah, itu
tidak Mutawattir, tetapi lebih menunjukan bahwa hanya Abu Khuzaimah Al –
Anshari yang menulisnya. Zaid dan sahabat – sahabatnya juga menghafalnya,
tetapi tidak memiliki tulisanya.
Sikap kehati-hatian Zaid dalam
mengumpulkan Al – Qur’an sebenarnya atas dasar pesan Abu Bakar kepada Zaid dan
Umar. Abu Bakar berkata “ Duduklah kalian di pintu masjid. Siapa saja
yang datang kepada kalian membawa catatan Al-Qur’an dengan dua saksi, maka
catatlah.”
Di dalam menerangkan “ dua saksi”
riwayat ini perlu di simak pendapat Ibn Hajjar. Menurut tokoh hadits penamaan
ini, Syahidain ( dua saksi ) disini keduanya tidak harus dalam
bentuk hafalan, atau keduanya dalam bentuk tulisan. Sahabat tertentu yang
membawa ayat tertentu dapat di terima bila ayat di sodorkan didukung dua
hafalan dan atau tulisan sahabt lainya. Demikian juga, suatu hafalan ayat
tertentu yang dibawa oleh sahabat tertentu baru bisa di terima bila kuatkan
oleh dua catatan dan atau hafalan sahabt lainya.
Pemahaman Ibn Hajjar tentang Syahidain sedikit
berbeda dengan apa di tangkap As – Sakhawi ( W.643 H. Asy – Syakhawi
memandang bahwa Syahidain artinya catatan sahabat tertentu
mengenai ayat tertentu. Ayat tertentu yang di sodorkan sahabt dapat diterima
jika memiliki dua saksi yang memberikan kesaksian bahwa catatan itu memang
ditulis dihadapan Nabi.
Pekerjaan yang dibebankan kepundak
Zaid dapat diselesaikan dalam waktu kurang lebih satu tahun, yaitu pada tahun
13 H. dibawah pengawasan Abu Bakar, Umar, dan para tokoh sabahat lainya. Ketiga
tokoh yang telah disebut-sebut dalam pengumpulan Al – Qur’an pada masa Abu
Bakar, yakni Abu Bakar, Umar, dan Zaid, mempunyai peranan yang sangat penting.
Umar yang terkenal dengan trobosan-trobosan jitunya menjadi pencetus Ide. Ini
tetntunya punya arti tersendiri. Zaid sudah tentu mendapat kehormatan besar
karena ia dipercaya menghimpun kitab suci Al-Qur’an yang memerlukan kejujuran,
kecermatan, ketelitian, dan kerja keran. Khalifah Abu Bakar sebagai decision
maker menduduki porsi tersendiri. Tak berlebihan bila Ali bin Abi
Thalib memujinya dengan mengatakan, “ Semoga Allah merahmati Abu
Bakar. Ia orang yang pertama kali ( mengabil keputusan ) mengumpulkan kitab
Allah”. ( Az-Zarkasyi, t.t,I:239 ).
Setelah
sempurna, kemudian berdasarkan musyawarah, tulisan Al – Qur’an yang sudah
terkumpul itu dinamakan “Mushaf”, sebagaimana disebutkan Ibnu Asytah didalam
kitab Al-Mashahif yang didasarkan pada riwayat yang sampai
kepadanya melalui jalan Musa bin ‘Aqabah dari Ibnu Syihab: “ setelah Al –
Qur’an terkumpul, mereka menuliskanya diatas kertas. Abu Bakar berkata,
‘carilah nama Al-Qur’an yang sudah ditulis ini’. Sebagian sahabat mengusulkan
nama ‘As-Sifr’. Abu Bakar berkata, ‘itu nama yang diberikan oleh orang-orang
yahudi’. Merekapun tidak menyukai nama itu. Sebagian sahabat yang lainya
mengushulkan nama “Al-Mushaf” karena orang – orang habsyi memakai nama itu.
Mereka pun akhirnya sepakat dengan nama itu”.
Setelah
Abu Bakar wafat, suhuf-suhuf Al-quran itu di simpan khalifah Umar dan Umar
wafat, mushaf itu di simpan hafsah, bukan oleh Utsman bin Affan sebagai
khalifah yang menggantikan Umar. Timbul pertanyaan, “mengapa mushaf itu di
serahkan kepada khalifah setelah Umar?” Pertanyaan itu logis. Hanya Umar,
menurut zarzur, mempunyai pertimbangan lain, yaitu bahwa sebelum wafat, Umar
memberikan kesempatan kepada enam sahabat untuk bermusyawarah memilih salah
seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah. Kalau Umar memberikan Mushaf
yang ada padanya kepada salah seorang di antara enam sahabat itu, ia khawatir
hal tersebut di interpretasikan sebagai dukungan kepada sahabat yang memegang
mushaf. Padahal, Umar ingin memberikan kebebasan sepenuhnya kepada enam sahabat
itu, untuk memilih diantara mereka yang layak menjadi khalifa, ia menyerahkan
mushaf itu kepada heafsah yang lebih dari layak memegang musfah yang sangat
bernilai. Telebih lagi, ia adalah istri nabi dan sudah menghafal Al-quran
secara keseluruhannya.
Pada
masa Utsman bin Affan, penjelasan secara tradisional berupa Hadist Nabi yang
diriwayatkan Al-Bukhori, tentang alasan yang menyebabkan di ambil langkah
selanjutnya dalanm menetapkan bentuk Al-quran, menyiratkan bawa perbeedaan-perbedaan
serius dalam qiro’at (cara membaca) Al-quran terdapat dalam salinan-salinan
Al-quran yang ada pada masa Utsman bin Affan di berbagai wilayah. Dikisahkan
kepada kita bahwa selama pengiriman ekspedisdan militer ke Armenia da
Azzerpaijan, persilisihan tentang bacaan Al-quran muncul di kalangan
tentara-tentara muslim, yang sebagiannya direkrut dari Siria dan sebagian lagi
di Irak. Perselisihan inicukup serius hingga menyebabkan pimpinan-pimpinan
tentara muslim, Hudzaifah, melaporkannya kepada kholifa Utsman (644-656) dan
mendesaknya agar mengambil langkah-langkah guna mengakhiri perbedaan-perbedaan
bacaan tersebut. Kholifa lalu berembuk dengan para sahabat senior Nabi, dan
akhirnya menugaskan Zaid bin Tsabit “mengumpulkan” Al-quran . bersama Zaid,
ikut bergabung Tiga anggota keluarga Mekah terpandang: ‘Abdulloh bin Zubair,
Said bin Al-Ash, dan Abd Ar-Rohman bin Al-Harits.
Satu
prinsip yang mereka ikuti dalam menjalankan tugas ini adalah bahwa dalam kasus
kesulitan bacaan, dialek Quraisy- suku dari mana Nabi berasal- harus dijadikan
pilihan. Keseluruhan Al-quran direvisi dengan cermat dan dibandingkan
dengan suhuf yang berada di tangan hafsah, serta di kembalikan
kepadanya ketika resensi Al-quran selesai digarap.
Dengan demikian, suatu naskah
otoritatif (abash) Al-quran, yang sering juga di sebut Mushaf ‘Utsmani, telah
di tetapkan. Sejumlah salinannya dibuat dan di bagikan ke pusat-pusat utama
daerah Islam.
Az-Zarqani mengemukakan pedoman
pelaksanaan tugas yang diemban oleh Zaid bin Tsabit sebagai berikut:
§ Tidak menulis sesuatu dalam mushaf, kecuali
telah diyakini bahwa itu adaalah ayat Al-quran yang dibaca Nabi pada
pemeriksaan Jibril dan tilawah-nya tidak mansukh.
§ Untuk menjamin ketujuh huruf turunnya Al-quran,
tulisan mushaf bebas dari titik dan syakal.
§ Lafazh yang tidak dibaca dengan
bermacam-macam bacaan ditulis dengan bentuk unik, sedangkan lafazh
yang dibaca dengan lebih satu qira’at ditulis dengan rasm yang
berbeda pada tiap-tipa mushaf.
§ Berkaitan dengan terjadinya perbedaan mengenai bahasa,
ditetapkan bahasa Quraisy yang digunakan karena Al-Quran diturunkan dalam
bahasa tersebut.
Inisiatif Utsman untuk menyatukan
penulisan Al-quran tampaknya sangat beralasan. Betapa tidak, menurut beberapa
riwayat, perbedaan cara membaca Al-quran pada saat itu sudah berada pada titik
yang menyebabkan umat Islam saling menyalahkan dan pada ujungnya terjadi
perselisihan di antara mereka. Sebuah riwayat menjelaskan bahwa perbedaan cara
membaca Al-quran ini terlihat pada waktu pertemuan pasukan perang
Islam yang datang dari Irak dan Syiria. Sementara mereka yang datang dari Syam
(syiria) mengikuti qira’at Ubai bin Ka;ab, mereka yang berasal dari Irak
membacanya sesuai dengan qira;at Ibn Mas;ud. Tak jarang pula, di antara mereka
yang mengikuti qira’at Abu Musa Al-Asy’ari. Masing-masing pihak merasa bahwa
qira’at yang dimilikinya lebih baik.
Utsman
memutuskan agar mushaf-mushaf yang beredar adalah mushaf yang memenuhi
persyaratan berikut :
a. Harus
terbukti mutawir, tidak di tulis berdasarkan riwayat ahad
b. Mengabaikan
ayat yangbacaannya dinasakh dan ayat tersebut tidak diyakini di baca kembali di
hadapan Nabi pada saat-saat terakhir
c. Kronologi
surat dan ayat seperti yang dikenal sekarang ini, berbeda dengan mushaf Abu
Bakar yang susunan suratnya berbeda dengan mushaf Utsman
d. Sistem
penulisan yang digunakan mushaf mampu mencakupi qira’at yang berbeda sesuai
dengan lafadz-lafadz Al-quran ketika turun
e. Semua
yang bukan termasuk Al-quran dihilangkan. Contohnya,yang ditulis di mushaf
sebagian sahabat yang mereka juga menulis makna ayat atau penjelasannasikh-mansuk
di dalam mushaf.
Pada
Masa Abu Bakar
|
Pada
Masa ‘Utsman bin Affan
|
1. Motivasi penulisnya adalah khawatir sirnanya Al-quran
dengan syahidnya beberapa penghapal Al-quran pada Perang Yamamah
|
1. Motivasi penulisannya karena terjadinya banyak
perselisihan di dalam cara membaca Al-quran (qira’at)
|
2. Abu Bakar melakukannya dengan mengumpulkan tulisan-tulisan
Al-quran yang terpencar-pencar pada pelepah kurma, kulit, tulang dan
sebagainya.
|
2. ‘Utsman melakukannya dengan menyederhanakan tulisan mushaf
pada satu hurufdari tujuh huruf yang dengannya
Al-quran turun7
|
Penyempurnaan Penulisan Al-quran
setalah Masa Khalifah
Mushaf
yang ditulis atas perintah ‘Utsman tidak memiliki harakat dan tanda titik
sehingga dapat dibaca dengan salah satu qira’at yang tujuh. Setelah banyak
orang non-Arab memeluk Islam, mereka merasa kesulitan membaca mushaf yang tidak
berharakat dan bertitik itu. Pada masa Khalifah ‘Abd Al-Malk (685-705), ketidak
memadainya mushaf in telah dimaklumi para sarjana muslim terkemuka saat itu dan
karena itu pula penyempurnaan mulai segera dilakukan. Tersebutlah dua tokoh
yang berjasa dalam hal ini, yaitu ‘Ubaidillah bin Ziyad (w. 89 H). adapun orang
yang disebut-sebut pertama kali meletakkan hamzah, tasydid, Al-raum,
dan al-isymamadalah Al-Khalil bin Ahmad Al-Farahidi Al-Azdi yang
diberi kunyah Abu ‘Abdirrahman (w. 175 H.)
Upaya
penulisan Al-quran dengan tulisan yang bagus merupakan upaya lain yang telah
dilakukan generadi terdahulu. Diberitakan bahwa Khalifah Al-Wahid (memerintah
dari tahun 86-96 H). memerintahkan Khalid bin Abi Al-Hayyaj yang terkenal
keindahan tulisannya untuk menulis mushaf Al-quran.
Penerbitan Al-quran dengan label
Islam baru dimlai pada tahun 1787. Yang menerbitkannya adalah Maulaya ‘Utsman.
Dan mushaf cetakan itu lahir di Saint-Patersbourg, Rusia, atau Leningrad, Uni
Soviet sekarang. Lahir lagi kemudian, mushaf cetakan di kazan. Kemudian terbit
lagi di Iran. Tahun 1248 H/1828 M, negeri Persia ini menerbitkan mushaf cetakan
di kota Teheran. Lima tahun kemudian, yskni tahun 1833, terbit lagi mushaf
cetakan di Tabriz. Setelah dua kali diterbitkan di Iran, setahun kemudian
(1834) terbit lagi mushaf cetakan di Leipzig, Jerman.
Di negara Arab, Raja Fuad dari Mesir
membentuk panitia khusus penerbitan Al-quran di perempatan pertama abad XX.
Panitia yang di motori para syekh Al-Azhar i ni pada tahun 1342 H/ 1923 M.
Berhasil menerbitkan mushaf Al-quran cetakan yang bagus. Mushaf ysng pertama di
terbitkan di Negara Arab ini dicetak sesuai dengan riwayat Hafsah atau qira’at
‘Ashim. Sejak itu, berjuta-juta mushaf dicetak di Mesir dan diberbagai Negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar